Minggu, 21 Juni 2015

Dan Inilah Perjalananku

Dan inilah perjalananku. Terimakasih Hendra Pangestu yang telah menyemangati, sabar membingmingku, memotivasi kala hidupku tak berarah. Kalau bukan karena Ia, suami tercinta, mungkin sekarang aku tak bisa merasakan lagi bahagianya menjadi manusia yang tinggal dibumi. Mungkin juga aku takkan melihat buah hatiku Ilyas dan Izzah sebagai pelipur larakau serta merasakan kembali hangatnya dekapan dan buaian cinta keluarga nan utuh. Ya, aku hampir terperosot jauh menuju kegelapan. Aku putus asa kala itu. Dimana masa laluku menjadi lembar hitam penuh air mata. Tak sanggup aku menyaksikan apa yang terjadi pada realita hidup ini. Sedih, marah, kecewa, kesal, sakit, perih, terluka, teriris, bahkan lebih pedih dari ini semua. Bagaikan tombak tajam meruncing menghantam jauh menembus hatiku. Hingga tak ada satupun manusia yang mampu mencabut tombak itu dari diriku. Tancapannya sangat tajam, berbekas sampai sekarang. Dulu sepatah kata pun, mulutku enggan menyuarakannya pada orang lain. Sekalipun orang-orang terdekatku. Ku simpan rapat-rapat cerita hidupku. Hilang sudah kepercayaanku. Lagi pula siapa yang peduli pada cerita anak ingusan kemarin sore? Jangankan cerita atau mengadu, perlakuan mereka kepadaku seolah membuatku tersingkir. Entah aku ini dianggap ada atau tiada. Mungkin hanya sekedar nama yang mereka kenal. Namun, kini ku sanggup bahkan berani ku beberkan apa kisah catatan hidup Intan Permana Handayani. *** Dikisahkan bahwa Ibuku adalah gadis cantik nan ayu lagi solehah semasa muda dulu. Namanya Putri Permana Larasati. Hidup sederhana namun beragama. Menjunjung tinggi kejujuran serta kesopanan. Kedua orang tuanya hanyalah tukang sayur keliling. Sesekali Bapaknya menjadi guru ngaji di Masjid sebelah. Putri adalah anak ke-3 yang hidup. Maklum Ibunya sudah dua kali keguguran, dan saat ingin memberikan Putri adik pun juga begitu. Mungkin karena kelelahan dan faktor usia yang saat menikah sudah kepala tiga. Alhasil Putri adalah anak sematawayang. Kedua orangtuanya amat menyayangi Putri. Dididiknya Putri dengan begitu disiplin. Hingga beranjak menjadi seorang gadis, jadilah Putri banyak yang melamarnya untuk menjadikannya seorang istri. Sampai suatu hari, datanglah pemuda tampan dengan mobil hitam mengkilat, menguntit Putri (Ibuku) sedari kampus, untuk mengetahui dimana rumahnya. Karena Ibuku termasuk wanita yang sulit didekati. Sebab pesan dari orangtuanya untuk berhati-hati dengan laki-laki. Ya, itu adalah Ayahku, namanya Handa Maulana. Sudah lama ia menyukai Ibuku. Namun malu untuk mengungkapkannya apalagi sampai mendekatinya. Ayahku berasal dari keluarga yang kaya raya. Berbanding terbalik dengan ekonomi keluarga Ibuku. Tinggal di rumah mewah nan megah. Orang tuanya memiliki banyak kontrakkan dan pengusaha Soto terkenal dari turun-temurun, alias usaha nenek moyang yang sudah membuka cabang dimana-mana. Namun membahas tentang agama, Ayahku juga tak buta akan ilmu agama. Pengalamannya tinggal di pesantren pesakitan sewaktu SMP dan SMA membuatnya memilih gadis sederhana asal Kebumen. Sementara Ayahku asal Jakarta. Ayahku adalah anak pertama dari empat bersaudara. Dua adiknya perempuan dan satu lagi laki-laki. Bicara soal kisah cintanya, memanglah tidak mendapatkan restu dari kedua orangtua laki-laki. Alasannya klasik, yaitu tidak sederajat. Namun karena cinta Ayah kepada Ibu begitu besar, Ayah tak lantas mundur dan mengurungkan niatnya melamar Ibu. Ayah justru mendatangi rumah Ibu dan menemui kedua orangtuanya untuk menjelaskan maksud kedatangannya ingin melamar putrinya. Gentel banget kan tuh.. Mendengar pernyataan itu, tak lantas Ibu menerima lamaran Ayah begitu saja. Berhari-hari Ibu memikirkan lamaran itu. Mengingat kedua orangtuanya juga sudah tua renta, maklum saat mendapatkan anak Putri (Ibuku) usia kedua orangtuanya sudah kepala empat. Alhasil melihat kesungguhan dari Ayah, pada akhirnya Ibuku menerima lamaran itu. Tak sampai disitu. Tiba saatnya diperkenalkan pada keluarga Ayah, Ibuku malah mendengar pernyataan yang tak enak. Restu kedua orangtua Ayah tak didapat sepenuhnya. Hari demi hari Ayah berusah meyakinkan kedua orangtuanya tapi hasilnya nihil. Namun, pernikahan itu tetap berlangsung. Mungkin ini yang dinamakan cinta buta. Sesudah pernikahan itu terlaksana, Ayah dan Ibu hidup bahagia meski serba pas-pasan. Ayah harus menjual mobilnya untuk mengontrak dan modal berjualan soto keliling. Namun pendidikan agama yang melekat dikeduanya tak serta merta luntur. Malah membuat keduanya tabah dan bersyukur membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah. Selang 5 bulan pernikahan, Ibuku hamil. Dan anak yang sedang dikandungnya itu adalah aku. Aku diberi nama Intan Permana Handayani. Lahir di Jakarta, 14 Desember 1970. Semenjak kelahiranku, usaha Ayah semakin meningkat. Ayah tak lagi bersusah payah keliling kampung untuk berjualan soto, tapi cukup di depan rumah. Karena sudah banyak yang tau dan terkenal enak. Singkat cerita Ayah sudah bisa membangun rumah sendiri, dan kami tidak tinggal di kontrakkan lagi. Usaha Ayah juga tak lagi menggunakan gerobak di depan rumah, tapi membuka toko kelontong di pinggir jalan dengan beberapa anak buah. Kebahagiaan kami juga bertambah ketika Ibu memberiku seorang adik laki-laki. Namanya Lukman Permana Handayana. Saat-saat itulah Ayah sedang jaya-jayanya. Kami sering berlibur bersama kakek dan nenek (orangtua dari Ibu). Sungguh bahagia sekali rasanya. Namun ternyata, banyak harta tak selamanya menjamin kebahagiaan. Disitulah justru awal mulanya kepedihan terjadi. Ayah punya kenalan wanita muda yang begitu cantik, pekerjaannya seorang seles rokok. Tiap minggu seles cantik itu datang ke toko Ayah untuk menawarkan rokok. Alih-alih dari sekedar jual beli rokok, hingga berkelanjutan sampai akhirnya mereka menjalin hubungan gelap tanpa sepengetahuan Ibu. Ayah jadi suka pulang tengah malam. Jarang sholat berjamaah bersama kami di rumah. Dan terlebih lagi, kami jadi sering mendengar Ayah marah-marah dengan nada tinggi dan bahasa yang kasar serta muka memerah karna hal-hal sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan bahasa yang baik. Kasihan sekali adikku. Dia masih kecil dan butuh kasih sayang dari seorang Ayah, setiap hari harus mendengar Ayah dan Ibunya bertengkar. Sedangkan aku sibuk sekolah. Hingga hari-hari yang paling menyedihkan itu pun terjadi. Adikku sakit-sakitan, mungkin karena ia rindu Ayah atau memang fisiknya melemah karena kurang gizi. Ayahku entah kemana pergi tak ada kabarnya. Aku, ibuku serta adikku mendatangi rumah orangtua Ayahku. Tapi bukan sambutan yang didapat, malah perkataan pedas menggores hati. Seolah kami ini najis yang tak boleh mengotori rumah mereka selangkah saja. Kami pulang dengan luka menganga dalam hati. Dibawalah adikku ke puskesmas. Tapi ternyata adikku terkena DBD. Pantas saja panasnya tak kunjung turun dan demam yang berkepanjangan. Adikku harus dirawat di rumah sakit. Dan kami tak punya biaya. Orang tua Ibuku pun tak sanggup membantu, malah menambah fikiran yang akhirnya kakek dari Ibuku meninggal. Tak ada pilihan lain, pekerjaan serabutan pun Ibu lakukan demi membayar biaya rumah sakit. Sementara Ayahku masih tak ada kabarnya berminggu-minggu. Toko soto miliki kami pun terancam gulung tikar karena banyak karyawan yang berhenti bekerja dan kami kewalahan melayani pengunjung yang banyak setiap hari. Hingga aku harus turun tangan membantu Ibu berjualan soto. Sampai akhirnya Tuhan mengambil adikku untuk selama-lamanya. Oh Tuhan.. cobaan apa lagi ini. Mengapa bertubi-tubi sampai kami tak punya ruang untuk bernapas. Berhari-hari Ibuku menangis di tengah malam. Bersujud mengadu pada Tuhan. Tidur pun tak nyenyak. Bersyukurlah setidaknya iman dalam dada Ibuku tak ikut lenyap. Selama ini Ibu lah yang menguatkan aku. Aku hampir putus sekolah dan memilih bekerja karena ingin meringankan beban Ibuku dan bisa menyenangkan hatinya lagi. Tapi hal itu ditentang keras oleh Ibu. Dengan alasan Ibu masih sanggup menyekolahkan aku. Padahal aku tahu Ibu sudah letih sekali. Beban yang dipikulnya begitu berat. Cobaan dalam hidupnya sangatlah menguji kesabarannya. Hingga terlihat jelas dimatanya sangatlah layu. Kantug matanya menghitam karena jarang tidur. Ditambah lagi sekrang nenek sudah tak bisa berjalan. Usianya yang 98 tahun membuatnya kembali seperti bayi. Segala sesuatunya harus dibantu. Mulai dari makan, minum, mandi, hingga membuang air kecil dan besar. Sampai untuk memenuhi kebutuhan hidup, rumah nenek yang sudah agak reot dijual oleh Ibu. Aku masih bersyukur karena rumah yang aku tempati sekarang tak ikut dijual dan kami juga tak mengontrak. Perlahan-lahan usaha soto kami semakin sepi pengunjung. Ibu sudah tak tahu lagi harus cari pendapatan kemana. Hingga akhirnya Ibu menjadi buruh cuci dari rumah ke rumah. Sedih rasanya melihat Ibu seperti ini. Sosok Ayah yang dulu aku banggakan dan aku sangat hormati, perlahan-lahan memudar berganti kebencian yang mendalam. Suatu hari aku sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah temanku. Apa yang aku lihat? Aku melihat Ayahku ada disana. Ternyata Ayahku sudah menikah lagi dengan kakak perempuan dari temanku. Lantas aku langsung kabur dan mengangis sepanjang jalan pulang. Aku tak kuasa menahan air mata ini. Rasanya sakit dan tergores. Perih sekali melihat dengan mata kepala sendiri, seorang ayah yang ku agungkan bersama wanita lain dengan senyum mengembang dan seolah tak ada kehidupan sebelumnya. Meninggalkan kami bahkan menelantarkan kami tanpa kesedihan sedikitpun. Sementara kami terkoyak kejamnya dunia. Esoknya, di sekolah temanku menanyakan alasanku pergi begitu saja tanpa pamit kemarin. Lalu ku bilang, aku ingin ke rumahnya sekali lagi. Saat tu juga, aku kerumahnya. Tapi tak ku temui Ayah disana. Hingga aku banyak bertanya pada temanku ini. Sampai akhirnya aku ceritakan bahwa suami yang dinikahi kakak peremuannya itu adalah Ayahku. Alhasil temanku pun tak percaya. Malah aku di usir oleh ibunya karena disangka berbohong dan bukan anak baik-baik. Sejak saat itu di sekolah semua teman-temanku menjauhiku. Tak tahu apa yang sudah dikatakan temanku ini pada yang lain. Tapi yang pasti itu tambah membuatku terpuruk. Saat itu pun, aku jadi sensitif dan mudah marah. Mudah tersinggung dan menangis. Aku benar-benar merasa kesepian jika di sekolah. Seolah-olah aku ini adalah anak bandel, biang onar dan bermasalah. Tak ada satu pun teman yang mau sekelompok denganku apa lagi untuk sekedar menyapa. Setiap hari aku menjadi korban bully teman-temannku di sekolah. Ketika ku pulang, bendera kuning telah terpasang sepanjang gang rumahku. Di rumah ku pun ramai dikunjungi pelayat. Aku takut kala itu. Gemetar dan dingin di sekujur tubuhku. Entah apa yang terjadi. Rasanya tubuhku kaku tak bisa berjalan. Aku takut kalau-kalau Ibuku meninggal. Tak bisa ku bayangkan bila ini semua terjadi. Sebab kepada siapa lagi teman hidupku selain Ibu. “Ya Allah..apa lagi ini? Siapa lagi yang Kau ambil dari hidupku?”, fikirku dalam hati. Orang-orang yang melihat memopohku masuk. Pelan-pelan ku langkahkan kaki. Tak terasa air mata turun begitu derasnya di pipi. Aku takut. Sungguh aku sangat takut. Mengapa bukan aku saja yang Kau ambil Ya Allah? Sampailah aku di depan pintu. Ku lihat Ibuku sedang membacakan yasin. Lalu siapa yang berda dibalik kain, terbujur kaku seperti itu? Ternyata nenek ku lebih dulu dipanggil Illahi. Sontak teriakku tumpah ruah disana. Ku peluk nenekku. Ku cium wajahnya yang begitu sabar atas apa yang terjadi. Dan orang-orang ramai menguatkanku. Tak luput Ibuku, ia juga memelukku erat. Menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala perih di dada. Orang-orang disana pun merasa iba pada kami. Tapi tak luput dari cemoohan tetangga. Setiap kali aku keluar rumah, pasti ada saja yang menanyakan kemana Ayahku? Mengapa tak pernah kelihatan di rumah? Dan sebagainya. Aku capek. Letih sekali. Hingga akhirnya, wisuda SMA datang juga. “Sekarang aku bisa kerja dan bantu Ibu”, fikirku. Benar saja, lulus sekolah dan dapat ijazah, aku langsung kerja menjadi pelayan lestoran. Aku bersyukur bisa membantu Ibu. Perihal Ayahku, tak ku pedulikan sama sekali. Bahkan sampai sekarang Ibu belum tahu bahwa Ayah menikah dengan kakak temanku sendiri. Hanya saja, Ibu pernah cerita bahwa Ayahku menikah lagi yang ia dengar dari anak buah toko soto kami dulu. Sekarang Ibu masih berjualan soto di rumah. Karena tak sanggup membayar sewa toko tiap bulan. Disinilah aku bertemu Hendra. Bagiku dia adalah pangeran sekaligus pahlawan. Padahal semenjak kejadian Ayah yang menikah lagi, telah melunturkan kepercayaanku pada setiap lelaki. Aku trauma berkepanjangan setiap bertemu dengan laki-laki. Setiap ada laki-laki yang mendekatiku apalagi menyatakan cintanya padaku, aku langsung marah dan menjauh. Wajahku masam bak belimbing wuluh. Karena aku takut hal yang sama seperti Ayah dan Ibu terjadi padaku. Ku anggap semua laki-laki adalah sama seperti Ayahku. Yang hanya bisa mengecewakan dan menyakiti. Ternyata ku salah. Hendra tak seperti itu. Jelas Hendra dan Ayah adalah dua orang yang berbeda. Begitu sabarnya ia saat ku caci dengan perkataan yang kasar, namun ia tetap bersikap baik padaku dan tersenyum. Entah mengapa. Aku sempat berfikir ada yang salah pada otaknya hingga ia mau berkorban dan berjuang untuk menikahiku. Rupanya sikap jutek, tak ramah, dan pendiam yang aku miliki inilah yang membuatnya tertarik padaku. Ya, Ibuku selalu mengajarkan ku tak lupa untuk beribadah. Dan itulah yang membuatnya menyukaiku. Bulan demi bulan, ternyata tekatnya ingin menikahiku tak main-main. Dari hasil gajinya menjadi pelayan restoran, ia sisihkan sedikit untuk ditabung sebagai modal pernikahan. Hingga sudah lumayan banyak terkumpul, ia beranikan diri mendatangi rumahku tanpa izin dulu padaku. Aku tak kuasa mengusirnya karena ada ibuku disana. Entah kenapa aku menjadi suka karena kegigihannya dan keseriusannya. Ternyata kedatangnnya untuk melamarku membuatku luluh. Singkat cerita kami menikah di Jakarta, 20 Februari 1998 tanpa adanya seorang wali (Ayah) saat ijab qobul. Sedih menyeruak dalam dada. Tak ku duga jadinya seperti ini. Hingga usia pernikahanku 1 tahun 5 bulan dan aku sedang mengandung 9 bulan kala itu, Ayaku datang. Entah mengapa ia hadir kembali. Dengan pakaian kotor, lusuh dan kumal bak gembel dijalanan. Ku kira kisah ini telah berakhir. Nyatanya tidak. Ia memohon ampun sambil bersujud di kaki Ibuku. Menyesal atas perbuatannya yang telah lalu. Amarahku begitu memuncak melihatnya. Tak tahu malu sekali ia datang ketika keluargaku pelan-pelan sedang membangun kebahagiaan baru. Tak kuasa aku menahan marah. Seketika ku tuangkan perasaanku sejadi-jadinya, tanpa perduli tetangga yang berbisik. Hilang kontrol ku pada emosi, saat itu juga bayi dalam perutku berkontraksi. Suasana yang memanas berganti penuh ketegangan. Takut kalau-kalau ada hal yang tidak diinginkan. Dan sekali lagi aku bersyukur, bahwa ini adalah saatnya aku melahirkan. Dengan selamat, normal, dan sehat. Singkat cerita, mau tak mau kami terima dia yang aku sebut Ayah kembali memasuki ruang lingkup hidup kami. Hendra lah yang membujukku, memberi pengertian pada aku dan Ibuku untuk bisa memaafkan. Sulit sekali rasanya memafkan kenyataan pahit ini. Namun mau bagaimana lagi. Tak mungkin darah daging ini bisa ku hilangkan darinya. Kalau tak ada Ayah, mungkin sekarang aku tak bisa bersama dengan Hendra yang memberiku kebahagiaan Ilyas dan Izzah. *** Sekian dan terimakasih. Mohon maaf apabila ada kesalahan dan kesamaan cerita. Ini hanyalah cerita fiktif yang ku buat. Semoga dari kisahku ini, bisa diambil pelajaran bagi para pembaca.

Sabtu, 06 Juni 2015

KUTU BERAS itu munculnya dari mana?

Kalau ada beras yang didiamkan terus-menerus maka akan muncul kutunya. Padahal sebelum disimpan beras itu bersih tidak ada kutunya. Begitu juga tempat penyimpanan berasnya sudah ditutup rapat. Lalu darimana asalnya kutu-kutu misterius itu?

Beras adalah salah satu sumber tenaga terbesar yang kaya akan karbohidrat. Oleh karena itu beras banyak dimanfaatkan manusia sebagai makanan pokok sehari-hari. Tak hanya itu, beras juga biasa digunakan dalam membuat jamu, masker beras, menu diet (beras merah), kue-kue, sampai membuat karya seni dengan menggunakan bulir-bulir beras.

Sebelum kita bahas pada bahasan yang utama, yaitu darimana kutu beras berasal? Kita bahas dulu asal mula beras. Beras sendiri secara biologi adalah bagian biji padi yang terdiri dari:

1) aleuron, lapis terluar yang kerap kali ikut terbuang dalam proses pemisahan kulit.

2) endosperma, tempat sebagian pati dan protein beras berada, dan

3) embrio, yang merupakan calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh lagi kecuali dengan bantuan teknik kultur jaringan). Biasanya embrio biasa disebut dengan mata beras.

 Kumbang beras (atau lebih dikenal secara awam dengan kutu beras) adalah nama umum dari sekelompok kecil anggota marga Tenebrio dan Tribolium (ordo Coleoptera) yang dikenal gemar menghuni biji-bijian/serealia yang disimpan. Kumbang beras adalah hama gudang  yang sangat merugikan  dan sulit dikendalikan bila telah menyerang dan tidak hanya menyerang gabah/beras tetapi juga bulir jagung, biji kacang-kacangan, jewawut dan sorgum. Larvanya berada di dalam bulir/biji, sedangkan imagonya memakan tepung yang ada.

Kutu yang satu ini sering kita jumpai, pastinya di beras. Walaupun tidak menimbulkan penyakit jika termakan. namun efeknya bisa mengurangi selera makan kita loh. Kutu beras berasal dari beras yang ditimbun terlalu lama dengan wadah/tempat yang tertutup rapat dan cenderung stabil kelembabannya. Beras memiliki serbuk halus yang biasa disebut dengan tepung beras, jika terlalu lama berada dalam suhu kelembaban yang cenderung stabil dalam jangka waktu yang lama, akan melahirkan sebutiran telur kumbang  beras, kemudian menetas lalu melahirkan si kutu beras.

 *tuliskan kritik dan saranmu di kolom komentar ya..guna membantu kemajuan karya tulis ku..trimakasih.☺











Hurt

I can look with correct
 Maybe last night i don't cry

So in the morning my eyes not to be closed
 this is good
 So timing up don't be angry
 Must doesn't me feel hurt
 The hurt is not tasty